Seperti yang kita tahu, Indonesia punya utang yang nominalnya sangat fantastis. Yang jadi pertanyaan, kenapa negara tidak mencetak uang sebanyak-banyaknya untuk melunasi utang tersebut?
Banyak negara di dunia memiliki utang dengan jumlah yang sangat besar, tak terkecuali Indonesia. Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa utang Indonesia saat ini berada di angka Rp 7.040,32 triliun atau mencapai 39,9 persen dari PDB.
Angka ini menurutnya masih berada di level aman, terlebih penerimaan juga turut meningkat akibat lonjakan harga komoditas global.
Ia juga menjelaskan, banyak negara di dunia harus meningkatkan jumlah utang secara drastis lantaran tak punya pilihan lain, terutama untuk menangani dampak pandemi Covid-19 yang telah memorak-porandakan sektor ekonomi.
Baca juga: Sering jadi Pertanyaan, Adakah Negara yang Punya Utang ke Indonesia?
Nah, bicara utang negara, mungkin pernah terlintas di pikiran kamu tentang, kenapa negara tidak mencetak uang sebanyak-banyaknya untuk membayar utang tersebut dan menyejahterakan masyarakat secara luas? Untuk tahu jawabannya, simak ulasan berikut ini hingga tuntas!
ALASAN NEGARA TIDAK CETAK UANG SEBANYAK-BANYAKNYA
Setidaknya, ada sejumlah alasan kenapa negara tidak mencetak uang sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan atau untuk membayar utang, antara lain:
Nilai uang akan turun
Saat pemerintah mencetak uang dalam jumlah yang besar, maka nilai uang tersebut otomatis akan turun. Kenapa demikian?
Perlu kamu tahu, banyaknya uang yang beredar di masyakarat namun tidak diikuti dengan makin banyaknya barang di pasar, akan membuat harga barang menjadi sangat mahal. Selain itu, barang juga menjadi langka.
Jika ini terjadi, uang yang sudah banyak dicetak nilainya akan turun, bahkan tak lagi bernilai. Demikian dilansir Detik.com
Sebabkan inflasi
Alasan lain kenapa negara tidak mencetak uang sebanyak-banyaknya adalah karena akan memunculkan inflasi. Untuk diketahui, inflasi akan muncul ketika penggunaan uang tidak ditopang oleh komoditas.
Contohnya terjadi pada Inggris dan Jerman pada awal tahun 1900-an. Saat itu, negara tersebut mencetak banyak uang untuk membiayai perang.
Baca juga: Negara dengan Utang Terbanyak di Asia Tenggara, Indonesia Nomor Berapa?
Pada 1914, Bank of England menerbitkan uang kertas dengan pertumbuhan 41,2 persen untuk membiayai perang. Yang terjadi adalah, inflasi naik sebesar 13,5 persen.
Kondisi yang sama juga terjadi di Jerman ketika Perang Dunia I. Kebutuhan dana yang besar untuk perang membuat Jerman meninggalkan emas sebagai mata uang Mark. Alhasil, harga komoditas menjadi naik pada tahun 1923.
Ketika itu terjadi, harga sepotong roti di Jerman mencapai 200 miliar Mark dan ibu-ibu di sana bahkan menjadikan uang kertas sebagai bahan bakar karena nilainya lebih rendah dari kayu.
Muncul utang
Alasan terakhir adalah karena akan memunculkan utang.
Secara teknik, saat pemerintah mencetak uang, maka dalam neraca pemerintah juga akan muncul ‘kewajiban’ berupa utang. Jika uang yang dicetak tidak ditopang oleh komoditas, maka pertambahan neraca pemerintah di sisi aset dengan bertambahnya uang hanya akan jadi ilusi semata. Sebab, faktanya, pemerintah tidak memiliki apa-apa untuk membayar utang.
Kondisi ini pernah terjadi di Argentina, di mana mereka pernah mencetak uang baru dengan nilai 54 persen dari pendapatannya, kemudian naik jadi 86 persen pada tahun 1985-1990. Hasilnya, nilai peso terus melemah dan masyarakat tidak percaya pada peso, sehingga mulai beralih ke mata uang dolar AS.
ALASAN TIDAK MENCETAK BANYAK UANG VERSI GUBERNUR BI
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, mandat utama BI adalah mengendalikan inflasi dan menstabilkan nilai tukar rupiah. Menurutnya, sebagaimana dilansir Katadata.co.id, peredaran uang berlebih dapat memicu inflasi di dalam negeri.
Dijelaskannya juga, mekanisme pengedaran uang oleh BI tetap harus memerhatikan inflasi dan sesuai Undang-undang Mata Uang. Intinya, BI hanya mencetak uang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kata Perry, kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia 5 persen dan inflasinya 3 persen, kurang lebih kenaikan pencetakan uang 8 persen. Jika ingin menambah cadangan, kira-kira naik 10 persen.
Karena itu, lanjut Perry, tak ada proses pencetakan uang di luar mekanisme tersebut, kendati Indonesia sedang menghadapi krisis akibat pandemi.
Baca juga: Ketahui Definisi dan Contoh Utang Jangka Panjang
Ya, itulah ulasan kenapa negara tidak mencetak uang sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan. Semoga bermanfaat!
Leave a Reply