Istilah startup mungkin masih terbilang asing bagi sebagian masyarakat Indonesia. Namun, hal tersebut tentu saja tidak berlaku bagi orang-orang yang berkecimpung di dunia teknologi digital.
Sebenarnya, apa sih startup itu?
Menurut laman Wikipedia, startup merupakan serapan dari bahasa Inggris yang merujuk pada sebuah bisnis yang baru dirintis atau belum lama beroperasi. Perusahaan-perusahaan rintisan tersebut sebagian besar berada dalam fase pengembangan dan penelitian untuk menemukan pasar yang tepat. Satu hal yang pasti, startup identik dengan bisnis yang berbau teknologi dan internet.
CEO dailysocial.net Rama Mamuaya mengatakan, startup di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yakni startup pencinta game, startup aplikasi edukasi, serta startup perdagangan, seperti e-commerce dan informasi. Demikian dilansir Tech In Asia.
Bicara startup, kurang lengkap rasanya jika tak menyinggung strategi ‘burning money’ alias ‘bakar uang’ yang biasa dilakukan oleh perusahaan. Secara garis besar, ‘burning money’ bisa diartikan jika perusahaan rela rugi untuk suatu hal.
Startup memang memerlukan banyak uang untuk mengembangkan bisnis yang dijalankan. Biaya terbesar yang digelontorkan oleh sebuah startup biasanya adalah untuk belanja iklan yang terkadang jor-joran, hingga biaya untuk user acquisition atau proses mendapatkan pengguna.
Di Indonesia sendiri, ada banyak startup yang bermunculan beberapa tahun terakhir. Dengan jumlah penduduk mencapai ratusan juta, ditambah karakteristik masyarakat yang cenderung konsumtif, Indonesia dinilai merupakan pasar yang sangat menjanjikan dalam hal bisnis online.
Pertanyaannya, sampai kapan para startup akan ‘bakar uang’?
Jawaban atas pertanyaan ini tentulah berbeda satu sama lain. Tergantung sumber modal dan mazhab apa yang dianut. Ada startup yang sumber modalnya organik, adapula yang sejak berdiri sudah disuntik modal sangat besar. Begitu pun soal untung. Ada startup yang ingin cepat dapat untung, ada pula yang rela terus menerus merugi demi mendapat untung besar di kemudian hari.
Konsep bisnis yang dijalankan oleh startup jauh berbeda dengan konsep yang dijalankan oleh perusahaan konvensional. Jika perusahaan konvensional selalu mengejar profit, startup tak demikan. Startup rela mengalami kerugian untuk bisa mendapatkan untung besar di masa depan.
Untuk sebuah startup organik, pendapatan mereka dalam waktu sekitar dua tahun tampaknya sudah bisa untuk menutupi seluruh biaya. Namun, untuk break even point (BEP) alias balik modal, waktu yang dibutuhkan tentu akan lebih lama. Demikian kata M. Andy Zaky dari Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia, seperti dilansir Tirto.id.
Bisnis rintisan organik yang dimaksud Zaky adalah bisnis yang dimulai dari nol dengan modal awal berupa biaya operasional dan berorientasi mencari keuntungan. Akan tetapi, menurut dia, untuk startup yang mengejar valuasi, waktunya tak bisa diprediksi.
Zaky pun mencontohkan aplikasi karya anak bangsa ciptaan Nadiem Makarim. Kata dia, aplikasi tersebut tak bisa ditebak kapan bisa meraup keuntungan. Terlebih ada beberapa pesaing di sekitarnya. Dalam hal ini, pilihannya hanya dua: dominasi market share atau kebagian ‘remahnya’ saja.
Perusahaan asal Amerika Serikat Amazon bisa jadi contoh betapa kerugian yang dialami perusahaan bisa berbuah manis di kemudian hari. Sejak berdiri pada 1995, Amazon telah merugi meski pendapatannya terus melonjak. Hal ini terjadi bukan karena rendahnya pendapatan, tapi karena pengeluaran yang begitu besar. Jumlah karyawan Amazon terus bertambah tiap tahunnya.
Jika dipikir-pikir, Amazon bisa saja mencetak laba jika mereka tak gencar menambah karyawan dan ekspansi. Tapi, mereka memilih bersabar diri dan menunda keuntungan. Benar saja, beberapa tahun kemudian, Amazon berhasil melesat dengan membeli beberapa perusahaan.
Untung atau rugi pada dasarnya tak bisa dipakai sebagai indikator untuk menilai baik-tidaknya kinerja sebuah startup, seperti halnya yang lazim digunakan untuk menilai perusahaan konvensional. Startup yang saat ini mengalami kerugian belum tentu akan gagal di masa depan.
Terkait kerugian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa saat ini ada banyak startup yang masih mencatatkan kerugian dengan nilai cukup fantastis meski sudah beroperasi selama beberapa tahun. Sejumlah pengamat mengungkapkan bahwa kerugian yang dialami startup, khususnya e-commerce, adalah hal yang wajar. Menurut mereka, e-commerce merupakan sebuah bisnis yang sangat rentan terhadap kerugian di tahap awal.
Baca juga: Investasi Jangka Panjang atau Jangka Pendek, Mana yang Lebih Baik?
Lantas, kenapa para pelaku e-commerce atau startup lainnya masih bisa bertahan di tengah gempuran kerugian tersebut? Dan kenapa juga bisnis e-commerce masih digemari meski rentan mengalami rugi?
Suntikan dana yang sangat besar dari investor lah yang membuat perusahaan tetap bisa bertahan di tengah kondisi tersebut. Pertanyaan selanjutnya, kenapa para investor mau menyuntikkan dana kepada perusahaan yang jelas-jelas selalu merugi?
Jawaban pamungkasnya adalah karena value atau nilai dari perusahaan tersebut. Valuasi adalah nilai ekonomi dari sebuah bisnis. Angka valuasi biasanya dijadikan acuan untuk mengukur seberapa besar potensi bisnis sebuah perusahaan. Misalnya, ada perusahaan yang punya valuasi 1 triliun rupiah. Siapapun yang ingin mengakuisisi perusahaan tersebut secara penuh, ia harus mempersiapkan uang minimal 1 triliun rupiah pula.
Di era seperti sekarang ini, perusahaan bisa dikelompokkan ke dalam dua jenis. Ada operation company, di mana sebuah perusahaan mencari keuntungan dari proses operasi yang dilakukan, ada pula valuation company, di mana perusahaan tidak mengejar keuntungan dari operasi yang dilakukan, melainkan mengejar valuasi bisnis.
Apabila sebuah startup punya value yang tinggi di masyarakat, bisnis tersebut otomatis akan sangat menjanjikan dan bukan tak mungkin akan sangat mudah dalam menghasilkan keuntungan. Contoh mudahnya sebut saja jejaring sosial yang diciptakan oleh Mark Zuckerberg.
Di awal beroperasinya, jejaring sosial tersebut selalu mengalami kerugian. Namun, saat ini, pengguna dan pengunjung jejaring sosial itu mengalami peningkatan yang signifikan. Perusahaan pun dapat dengan mudah mendulang keuntungan besar setiap jamnya. Intinya, valuasi sebuah perusahaan akan berbanding lurus terhadap nilai investasinya.
Lalu, apa yang sebenarnya dicari Venture Capital selaku investor saat menyuntikkan dana ke sebuah startup? Tak lain dan tak bukan adalah uang.
Venture Capital berinvestasi karena mereka percaya akan nilai dari model bisnis yang diciptakan. Tentu saja, mereka juga berharap mendapatkan keuntungan di kemudian hari.
Venture Capital atau investor pada dasarnya punya perhitungan matang tiap kali ingin berinvestasi. Mereka sudah memperhitungkan kapan harus rugi, kapan harus untung, kapan harus melepas subsidi, termasuk kapan harus ‘exit’.
Baca juga: Catat, Ini Segudang Keuntungan Nabung di Danain Ketimbang di P2P Lending Lain!
Penilaian Venture Capital terhadap sebuah startup didasarkan pada beberapa faktor, seperti seberapa unik, inovatif, dan berpengaruh bisnis yang dijalankan, apakah prospeknya cerah, siapa tim yang ada di dalamnya, serta sejauh mana perusahaan sanggup membangun jaringan. Sebagian besar Venture Capital juga dapat dikatakan sangat mendukung startup yang didanai untuk ‘dijual’ kembali di kemudian hari.
Pola yang dijalankan bisa dibilang seperti ini: Venture Capital memberikan suntikan dana saat masa inkubasi, kemudian mendapatkan jatah saham dan dijual kembali ke pemodal lain dengan keuntungan yang berlipat. Inilah yang disebut ‘exit’.
‘Exit’ dalam hal ini memiliki dua arti, yakni ‘exit’ yang baik dan buruk. Dikatakan baik jika startup berhasil mencapai IPO (Initial Public Offering) alias masuk bursa saham atau Merge & Acquisition dengan perusahaan lain. Sementara ‘exit’ yang buruk adalah startup gagal atau tutup karena sejumlah alasan.
Pada prinsipnya, tujuan utama Venture Capital adalah mengantarkan startup yang didanai untuk melantai di bursa saham. Jika itu terealisasi, artinya mereka sudah berhasil menciptakan mesin pencetak uang.
Leave a Reply